Adab Jual Beli
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi)
Secara garis besar, penghasilan
itu ada pada tiga kelompok: industri, pertanian atau peternakan, dan
perdagangan (Faidhul Qadir, 1/547).
Namun dalam pembahasan kami lebih
terfokus pada perdagangan. Karena dengan perdagangan seseorang akan lebih
banyak berinteraksi dengan orang lain yang majemuk. Itu berarti seseorang perlu
lebih berhati-hati. Nabi n pun telah banyak memberikan bimbingannya dalam
masalah ini. Adapun perdagangan itu sendiri pada dasarnya hukumnya mubah
menurut Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan qiyas.
Allah l berfirman:
”Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Nabi n bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا
لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا،
وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang yang bertransaksi jual
beli itu punya hak khiyar (memilih) selama belum berpisah. Bila keduanya jujur
dan menerangkan (apa adanya), maka keduanya akan diberi barakah dalam jual
belinya. Tapi bila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat) maka akan
dihilangkan keberkahan jual beli atas keduanya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan
Abu Dawud)
Jadilah Pedagang yang Bertakwa
Dari Rifa’ah z:
أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ رَسُولِ اللهِ
n إِلَى الْبَقِيعِ وَالنَّاسُ يَتَبَايَعُونَ فَنَادَى: يَا مَعْشَرَ
التُّجَّارِ. فَاسْتَجَابُوا لَهُ وَرَفَعُوا إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ، وَقَالَ:
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى
وَبَرَّ وَصَدَقَ
Bahwasanya ia keluar bersama
Rasulullah n menuju Baqi’ sementara orang-orang sedang berjual beli. Maka beliau
n berseru: “Wahai pada pedagang.” Maka mereka menyambut seruan beliau dan
mengarahkan pandangan mereka kepadanya. Beliaupun berkata: “Sesungguhnya para
pedagang pada hari kiamat nanti akan dibangkitkan sebagai orang-orang yang
jahat, kecuali orang yang bertakwa, berbuat baik, dan jujur.” (HR. Ibnu Hibban,
11/277 no. 4910. Lihat juga Shahih Jami’ Shaghir no. 1594)
Adab dalam Mencari Rezeki
Agama Islam dengan kelengkapannya
dan keindahan ajarannya telah mengatur pemeluknya untuk beradab dalam segala hal.
Termasuk dalam melakukan transaksi jual beli atau pinjam meminjam, atau bentuk
muamalah yang lain. Agar seorang muslim diridhai Allah l dalam usahanya dan
terjaga dari tindak kezaliman terhadap dirinya ataupun terhadap orang lain,
hendaknya transaksi yang dilakukan seseorang memenuhi empat perkara:
1. Sah menurut agama
2. Mengandung keadilan
3. Mengandung kebaikan
4. Sayang terhadap agamanya
Untuk itu kami akan memberikan
sedikit perincian atas empat hal tersebut agar seorang muslim berada di atas
pengetahuan tentang agamanya.
1. SAH MENURUT AGAMA
Sebuah akad/transaksi dalam jual
beli akan sah bila terpenuhi padanya syarat-syarat pada tiga rukunnya. Tiga
rukun itu adalah pelaksana akad, barang yang diperjualbelikan, serta ijab dan
qabul dalam akad jual beli.
Rukun pertama: Pelaksana akad.
Dipersyaratkan pada pelaksana
akad beberapa hal:
a. Saling ridha antara keduanya,
sehingga jual beli tidak sah bila salah satunya melangsungkan akad jual beli
karena dipaksa. Sebab Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (An-Nisa’: 29)
Nabi n juga bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Hanyalah jual beli itu (sah)
bila saling ridha di antara kalian.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan
Al-Baihaqi)
Lain halnya bila pemaksaan itu
dengan cara dan alasan yang benar maka jual beli tetap sah. Semisal bila
pemerintah/hakim memaksa seseorang untuk menjual hartanya untuk membayar
utangnya, maka itu adalah bentuk pemaksaan yang benar.
b. Disyaratkan pada dua belah
pihak, pelaksana akad adalah seorang yang boleh secara syar’i untuk
ber-tasharruf (bertransaksi), yaitu seorang yang merdeka bukan budak, mukallaf
(di sini bermakna baligh dan berakal), dan rasyid, yakni mampu membelanjakan
harta dengan benar. Sehingga tidak sah transaksi oleh anak kecil yang sudah
mumayyiz (kecuali pada barang yang sepele), safih (lawan dari rasyid), atau
orang gila, juga seorang budak yang tanpa seizin tuannya.
c. Pelaksana akad harus seseorang
yang memiliki barang yang diperjualbelikan, atau sebagai wakil darinya. Karena
Nabi n berkata kepada Hakim bin Hizam z:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
”Jangan kamu jual sesuatu yang
bukan milikmu.”
Al-Wazir mengatakan: ”Para ulama sepakat bahwa seseorang tidak boleh menjual
barang yang tidak berada dalam kekuasaannya dan bukan miliknya. Bila dia
langsungkan penjualan dan orangpun membelinya, maka batal dan tidak sah.”
Rukun kedua: barang yang diperjualbelikan atau uang/alat tukarnya.
Dipersyaratkan padanya tiga hal:
a. Sebagaimana sesuatu yang
dibolehkan untuk dimanfaatkan secara mutlak menurut syariat, maka tidak sah
jual beli yang diharamkan untuk dimanfaatkan. Karena Nabi n bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ بَيْعَ
الْمَيْتَةِ والْخَمْرِ وَالْأَصْنَامِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan
jual beli bangkai, khamr (minuman keras), dan berhala.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam hadits yang lain:
وَإِنَّ اللهَ إذا حَرَّمَ عَلَى
قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
”Sesungguhnya bila Allah haramkan
atas sebuah kaum suatu makanan maka Allah haramkan juga harganya.” (HR. Abu
Dawud no. 3488, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Di antara yang diharamkan untuk
diperjualbelikan adalah khamr atau minuman keras, bangkai, babi, patung,
anjing, darah, air mani pejantan dan segala yang haram. Demikian secara global,
adapun perinciannya maka dibahas dalam bab hukum jual beli.
b. Barang atau uang/alat tukarnya
adalah sesuatu yang berada dalam kekuasaan pelaksana akad. Bila tidak, maka hal
itu serupa dengan sesuatu yang tidak ada wujudnya. Atas dasar itu tidak sah
jual beli unta yang lari, burung di udara, atau yang semakna dengan itu.
c. Barang atau uang/alat tukar
adalah sesuatu yang diketahui kadarnya oleh kedua belah pihak. Karena
ketidaktahuan adalah bagian dari gharar (ketidakpastian) dan hal itu dilarang
dalam agama. Sehingga tidak boleh jual beli sesuatu yang tidak dapat dilihat
atau sudah dilihat namun belum dapat diketahui benar.
Rukun ketiga: ijab dan qabul dalam akad/transaksi jual beli
Ijab adalah lafadz yang diucapkan
penjual semacam mengatakan: ”Saya jual barang ini.”
Qabul adalah lafadz yang
diucapkan pembeli, semacam mengatakan: ”Saya beli barang ini.”
Namun terkadang ijab qabul ini
bisa dilakukan dengan perbuatan, yaitu pedagang memberikan barang dan pembeli
memberikan uang, walaupun tanpa bicara. Atau terkadang dengan ucapan dan
perbuatan sekaligus.
Dengan demikian, seorang muslim
harus menghindari segala bentuk transaksi yang melanggar aturan agama, karena
segala yang menyalahi agama itu tertolak. Nabi n bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
”Barangsiapa yang mengamalkan
suatu amalan yang tidak di atas ajaran kami maka itu tertolak.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab t menerangkan, di
antara bentuk amalan yang tertolak dalam bidang jual beli adalah semua
akad/transaksi yang terlarang dalam syariat, baik disebabkan karena barangnya
tidak boleh diperjualbelikan, karena syaratnya tidak terpenuhi, karena terjadi
kezaliman (kerugian) bagi pihak pelaksana transaksi dan pada barang yang
ditransaksikan, atau karena akan menyibukkan dari dzikrullah yang wajib saat
waktunya terbatas (semacam saat khutbah Jum’at, pent.).
Beliau menerangkan bahwa pendapat
yang rajih (kuat) dalam hal hukum akad-akad tersebut, bilamana larangannya
terkait dengan hak Allah l maka transaksi tersebut tidak sah, yakni tidak
menjadikan berpindahnya kepemilikan. Yang dimaksud dengan hak Allah l yakni
larangan itu tidak gugur dengan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan
transaksi.
Bila larangan tersebut terkait
dengan hak orang tertentu, di mana larangan akan gugur dengan kerelaannya, maka
keabsahan akadnya tergantung dengan kerelaannya. Kalau dia rela maka akadnya
sah dan berakibat berpindahnya kepemilikan Jika tidak rela, maka akad menjadi
batal.
Contoh ketentuan di atas, untuk
bagian yang pertama adalah transaksi riba. Allah l telah melarangnya dengan
begitu keras. Maka transaksi riba tidak mejadikan berpindahnya kepemilikan, dan
syariat memerintahkan untuk dikembalikan. Nabi n sendiri telah memerintahkan seseorang
yang menukarkan satu sha’ (2,76 kg) kurma dengan dua sha’ kurma untuk
mengembalikannya, walaupun mereka saling ridha (karena ini termasuk transaksi
riba fadhl).
Contohnya juga menjual khamr
(minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing dan seluruh yang dilarang untuk
diperjualbelikan, yang tidak boleh saling rela antara kedua belah pihak.
Contoh untuk bagian kedua adalah
membelanjakan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Sebagian ulama
berpendapat bahwa semacam ini tidak batal sepenuhnya, bahkan tergantung kepada
izin pemilik. Jika ia izinkan maka sah, dan jika tidak maka tidak sah.
Contohnya juga jual beli mudallas
(penipuan) seperti apa yang disebut Al-Musharrat (membiarkan unta untuk tidak
diperah susunya sehingga nampak gemuk dan susunya banyak, lalu dijual), jual
beli najsy (penawaran barang dari sebagian pihak tapi bukan untuk membelinya
namun untuk menipu pembeli lain), atau juga talaqqir rukban (mencegat orang
pedesaan yang tidak tahu harga lalu membeli barang mereka sebelum sampai pasar).
Hukum yang benar dari contoh-contoh tadi bahwa keabsahan transaksi itu
tergantung kepada izin atau kerelaan mereka yang terzalimi atau dirugikan,
karena telah terdapat riwayat yang shahih dari Nabi n bahwa dalam peristiwa
Al-Musharrat bahwa beliau n memberikan khiyar (hak memilih antara membatalkan
atau meneruskan kepada pembeli hewan tersebut). Sebagaimana beliau n juga
memberikan hak khiyar kepada para pedagang yang dari pelosok tersebut bila
mereka telah sampai ke pasar (dan mengetahui harga pasar). Ini semua
menunjukkan bahwa transaksi dalam jenis ini tidak batal begitu saja. (Lihat
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarah hadits no. 5)
2. MENGANDUNG KEADILAN
Hendaknya muamalah yang dia
lakukan mengandung keadilan dan menjauhi kezaliman. Yang kami maksud dengan
kezaliman adalah suatu perbuatan yang dengannya orang lain terugikan atau
tersakiti, baik itu mengenai masyarakat umum atau yang mengenai pihak tertentu.
Demikian dijelaskan dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin.
Di antara Bentuk Muamalah yang
Mengandung Kezaliman
a. Ihtikar
Ihtikar dalam bahasa kita berarti
menimbun. Yang kami maksud dengan menimbun di sini adalah bentuk tertentu
darinya, yaitu menahan sesuatu yang merugikan atau mencelakakan masyarakat,
dengan tujuan menaikkan harga. (Mu’jam Lughatil Fuqaha’ karya Qal’aji hal. 46)
Ibnu Qudamah t menyebutkan
beberapa syarat ihtikar yang diharamkan:
- Ia membeli barang yang dia
tahan tersebut dari daerah setempat bukan dari luar daerah.
- Barang tersebut adalah makanan
pokok.
Namun pendapat yang lebih kuat
bahwa tidak dipersyaratkan harus berupa makanan pokok. Bahkan segala sesuatu
yang ditimbun dan dengan ditimbunnya menyusahkan masyarakat umum maka tidak
boleh, semacam menimbun BBM.
- Dengan pembelian tersebut,
manusia menjadi susah terkait barang tersebut. Jadi syarat diharamkannya adalah
bahwa saat itu orang-orang membutuhkannya. (Syarhul Buyu’ hal. 59 dengan
diringkas)
Dari Ma’mar dia berkata:
Rasulullah n telah bersabda:
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Tidaklah melakukan ihtikar
(penimbunan barang) kecuali orang yang berdosa.” (Shahih, HR. Muslim, Abu
Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Hibban dari sahabat
Ma’mar z)
2. Ghisy
Ghisy berarti menipu atau curang.
Kata ini tentu bermakna sangat umum, sehingga meliputi segala bentuk penipuan
atau kecurangan dalam akad jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai atau
muamalah lainnya. Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di zaman Nabi n
sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah z berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n مَرَّ عَلَى
صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا،
فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يا
رَسُولَ اللهِ. قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؛
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
Rasulullah n melewati tumpukan
makanan (yang dijual) lalu beliau masukkan tangannya ke dalamnya maka mendapati
tangan beliau basah. Maka beliau mengatakan: “Ada apa ini wahai pemilik makanan ini?”
“Terkena hujan, ya Rasulullah,” jawabnya. Beliau mengatakan: “Tidakkah engkau
letakkan di bagian atas makanan itu supaya orang melihatnya? Orang yang menipu
bukan dari golongan kami.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan Ath-Thabarani)
Sabda Nabi n dalam hadits yang
lain, dari Ibnu Mas’ud z, ia berkata: Rasulullah n bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang berbuat curang
kepada kami maka dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan itu di
neraka.” (Hasan Shahih, HR. At-Thabarani dalam kitab Mu’jam Al-Kabir dan Ash-Shaghir
dengan sanad yang bagus dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih
At-Targhib, 2/159 no. 1768)
3. Tathfiif
Tathfiif berarti mengurangi hak
orang lain dalam takaran atau timbangan. Perbuatan ini telah dilarang keras
oleh Allah l dalam Al-Qur’an. Di antaranya:
“Kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?” (Al-Muthaffifin: 1-6)
Ibnu Katsir t menafsirkan: “Yang
dimaksud dengan tathfiif di sini adalah merugikan timbangan. Bisa dengan
melebihkan timbangan ketika seseorang meminta pelunasan dari orang lain, atau
dengan mengurangi timbangannya ketika sedang melunasi mereka. Oleh karenanya,
Allah menafsiri Al-Muthaffifin yang Dia ancam dengan kerugian dan kebinasaan
bahwa mereka adalah apabila menimbang dari manusia mereka memenuhi
timbangannya, yakni mengambil hak mereka sepenuhnya dan melebihinya. Akan
tetapi bila mereka menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Sungguh Allah
l telah memerintahkan untuk memenuhi timbangan dan takaran. Allah l berfirman:
“Dan sempurnakanlah takaran
apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Al-Isra’: 35)
“Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekadar kesanggupannya.” (Al-An’am: 152)
“Dan tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Ar-Rahman: 9)
Allah l juga telah membinasakan
kaum Syu’aib dan menghancurkan mereka ketika mereka mengurangi takaran atau
timbangan manusia. Selanjutnya, Allah berfirman mengancam mereka yang berbuat
demikian (artinya): ‘Tidakkah mereka yakin bahwa mereka bakal dibangkitkan pada
hari yang agung.’ Yakni, tidakkah mereka merasa takut untuk bangkit di hadapan
Dzat Yang Maha mengetahui rahasia dan isi qalbu pada hari yang sangat
mengerikan, sangat menakutkan, dan sangat menyusahkan? Barangsiapa yang merugi
maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Firman-Nya (artinya) ‘Di hari manusia
bangkit menghadap Rabb semesta alam.’ Yakni saat mereka bangkit dalam keadaan
tak beralas kaki, telanjang, dan belum dikhitan. Dalam situasi yang sempit lagi
susah bagi seorang yang berdosa, ketetapan Allah l menyelimuti mereka. Sebuah
keadaan yang segala kemampuan dan panca indera tak mampu menghadapinya. Al-Imam
Malik t meriwayatkan dari Ibnu Umar c, ia mengatakan bahwa Rasulullah n
bersabda: “Hari di mana orang-orang menghadap Rabb sekalian alam, sampai-sampai
seseorang tenggelam dalam keringatnya hingga pertengahan telinganya.”1 (Tafsir
Al-Qur’an Al-’Azhim)
As-Sa’di t juga mengatakan dalam
tafsirnya: “Allah l mengancam mereka yang mengurangi timbangan, dan heran
terhadap keadaan mereka serta tetapnya mereka dalam keadaan ini. Maka Allah l berfirman
(artinya): ‘Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Rabb semesta alam?’ Berarti, yang membuat mereka berani untuk
melakukan ini adalah tidak imannya mereka kepada hari akhir. Karena, seandainya
mereka beriman dengannya dan tahu benar bahwa mereka akan dibangkitkan di
hadapan-Nya, serta Allah l akan menghitung amal mereka sedikit maupun banyak,
tentu mereka akan berhenti darinya dan bertaubat.” (Taisir Al-Karimirrahman)
Dari Ibnu Abbas c, ia berkata:
لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ n
الْمَدِيْنَةَ كَانُوا مِنْ أَخْبَثِ النَّاسِ كَيْلًا، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ {ﯖ ﯗ } فَأَحْسَنُوا الْكَيْلَ بَعْدَ ذَلِكَ
“Ketika Rasulullah n datang ke
Madinah dalam keadaan mereka adalah orang-orang yang paling jahat dalam
timbangan, maka Allah menurunkan ayat (artinya): ‘Celakalah orang-orang yang
mengurangi sukatan (takaran)’, maka merekapun memperbaiki penimbangan mereka
setelah itu.” (Hasan, HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan
Al-Baihaqi. Lihat Shahih At-Targhib, 2/157 no. 1760)
Dari Ibnu Umar c, ia berkata:
أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ
n فَقَالَ: ياَ مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ، خَمْسُ خِصَالٍ إِذَا ابْتُلِيْتُمْ
بِهِنَّ -وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ- …وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ
وَالْمِيْزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمُؤْنَةِ وَجَوْرِ
السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ…
Rasulullah menghadap kami lalu
mengatakan: “Wahai orang-orang Muhajirin, ada 5 perkara bila kalian tertimpa
dengannya –dan aku berlindung kepada Allah untuk kalian tertimpa dengannya–
…(lalu beliau mengatakan) dan tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan
timbangan kecuali mereka tertimpa oleh paceklik, kesusahan (dalam memenuhi)
kebutuhan, dan kejahatan penguasa….” (Shahih Lighairihi, HR. Ibnu Majah dan ini
lafadz beliau, juga riwayat Al-Bazzar dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih At-Targhib,
2/157 no. 1761)
4. Najsy
Najsy adalah menaikkan harga
barang oleh orang yang tidak hendak membelinya dengan cara menawarnya dengan
harga yang tinggi, baik dengan tujuan menguntungkan penjual, mencelakakan
pembeli, atau hanya main-main.
Ibnu Abi Aufa t mengatakan:
“Orang yang melakukan najsy adalah pemakan riba dan pengkhianat.”
Ibnu Abdul Bar t mengatakan:
“Ulama sepakat bahwa pelakunya bermaksiat kepada Allah l bila tahu larangan
tersebut.” (Lihat kitab Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam)
Larangan yang dimaksud adalah
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah z, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ n أَنْ
يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى
بَيْعِ أَخِيهِ، وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلاَ تَسْأَلُ
الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا
“Rasulullah n melarang orang kota
untuk menjualkan milik orang pelosok, janganlah kalian saling melakukan najsy,
janganlah seseorang menjual atas penjualan saudaranya, jangan pula melamar atas
lamaran saudaranya, dan jangan pula seorang wanita meminta (suaminya) untuk
menceraikan madunya demi memenuhi bejananya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Muslim,
dan At-Tirmidzi)
Bila terjadi najsy, apakah jual
beli tersebut sah? Jumhur ulama berpendapat bahwa bilamana terjadi penipuan
yang tidak wajar maka pembeli punya hak khiyar/memilih. Tapi bila penipuannya
tidak begitu besar maka pembeli tidak punya hak khiyar. Oleh karenanya, pembeli
semestinya juga berhati-hati dan mencari informasi terlebih dahulu. (Lihat
kitab Syarhul Buyu’ hal. 49)
5. Memaksa pihak lain
Yakni jangan sampai berlangsung
akad jual beli antara penjual dan pembeli kecuali keduanya saling ridha. Ini
merupakan syarat sahnya jual beli. Islam mengharuskan demikian karena Islam
hendak menghindarkan tindak kezaliman pada manusia. Sehingga tidak halal bagi
seseorang mengambil harta orang lain yang keluar tanpa kerelaannya.
Dalam hadits disebutkan:
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seorang muslim
kecuali dengan kerelaan dari jiwanya.” (Shahih, HR. Abu Dawud. Lihat Shahih
Jami’: 7662)
Tentang keharusan saling ridha
ini Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
(An-Nisa’: 29)
Dalam hadits Abu Hurairah z, ia
berkata: Rasulullah n bersabda:
لَا يَفْتَرِقَنَّ اثْنَانِ إِلاَّ
عَنْ تَرَاضٍ
“Janganlah sekali-kali keduanya
(yakni penjual dan pembeli) berpisah kecuali saling ridha.” (Hasan Shahih, HR.
Abu Dawud, Shahih Sunan Abi Dawud no. 3458)
Dari Abu Said Al-Khudri z ia
berkata Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Jual beli itu hanyalah jika
saling ridha.” (Shahih, HR. Ibnu Majah, lihat Shahih Al-Jami’ no. 2323)
6. Menyembunyikan aib
Seorang muslim diharuskan untuk
berkata dan berbuat jujur dalam segala perbuatannya, termasuk tentunya dalam
jual beli. Jika ia jujur maka Allah l akan berikan barakah dalam transaksi
mereka. Sebaliknya, bila tidak maka keberkahan itu akan dicabut oleh Allah l.
Disebutkan dalam hadits dari Hakim bin Hizam z, ia berkata: Rasulullah n
bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا
لَمْ يَتَفَرَّقَا -أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا- فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا
بُورِكَ لَهُمَا في بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ
بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli itu punya
hak khiyar (memilih antara membatalkan atau tidak) selama mereka belum berpisah
-atau: sehingga keduanya berpisah-. Bila keduanya jujur dan menerangkan, maka
akan diberkahi jual beli mereka. Namun bila keduanya menyembunyikan serta
berdusta maka akan dicabut keberkahan jual beli mereka.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Ulama telah bersepakat tentang
haramnya menyembunyikan aib dan bahwa pelakunya berdosa. Adapun aib yang
dimaksud adalah semua aib atau cacat yang terdapat pada barang/produk yang
dijual dan terhitung mengurangi barang tersebut atau mengurangi harganya dengan
kadar kekurangan yang menghilangkan tujuan (pembelian). Sehingga boleh
dikembalikan bila biasanya pada barang sejenis tidak ada aib/cacat semacam itu.
(lihat Syarhul Buyu’ hal. 98, 99)
Oleh karenanya, para ulama menetapkan
adanya khiyar aib yakni hak khiyar yang disebabkan karena adanya cacat,
walaupun cacat tersebut baru diketahui setelah sekian waktu. (lihat Syarhul
Buyu’ hal. 102)
7. Gharar
Gharar adalah sesuatu yang
tersembunyi atau belum diketahui akhirnya apakah akan menguntungkan atau akan
merugikan. Jual beli yang mengandung unsur gharar semacam ini dilarang. Para ulama sepakat akan dilarangnya hal itu, karena Nabi
n bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah z, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ n عَنْ بَيْعِ
الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah melarang jual beli
hashat2 dan melarang jual beli gharar.” (Shahih, HR. Muslim)
Di antara gambaran jual beli
gharar, seseorang menjual hewannya yang lari atau barang yang tertutup dan
belum diketahui isinya, menjual hewan yang masih dalam kandungan kecuali bila
bersama induknya, atau apa saja yang memiliki kriteria di atas. Kecuali bila
unsur gharar itu sangat sedikit dan sudah dimaklumi semacam menyewa kamar
mandi, tentu kadar air yang dipakai tidak sama antara satu pemakai dengan yang
lain. (lihat Syarhul Buyu’ hal. 24)
Termasuk yang demikian bila
menjual ikan yang masih dalam kolam, sementara kolamnya dalam dan besar
sehingga sulit untuk mengetahui ikan yang berada di dalamnya. Oleh karenanya,
ulama hanya membolehkannya bila terpenuhi tiga syarat:
a. Ikan itu benar-benar milik si
penjual
b. Air tidak dalam sehingga mata
dapat melihat dan mengetahui perkiraan jumlah ikan.
c. Memungkinkan untuk diambil.
8. Menahan gaji pegawai
Bilamana pekerja telah melakukan
pekerjaannya, maka gaji merupakan haknya yang harus dipenuhi. Tidak halal bagi
majikan untuk menahan gaji pekerja/karyawannya. Disebutkan dalam hadits dari
Abu Hurairah z, dari Nabi n bahwa beliau n bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ثَلَاثَةٌ
أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ
بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى
مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Allah l berfirman: ‘Tiga
golongan manusia, Aku menjadi lawannya di hari kiamat; seseorang yang bersumpah
(kepada orang lain) dengan nama Allah lalu mengkhianati, seseorang yang menjual
orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang menyewa
pekerja lalu ia mengambil penuh pekerjaannya tapi ia tidak memberikan gajinya.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari)
9. Menjual pada penjualan sesama muslim
Begitu pula membeli pada
pembelian sesama muslim. Jadi larangan tersebut mencakup baik penjualan maupun
pembelian.
Gambarannya adalah seseorang
datang kepada dua orang yang sedang melangsungkan akad jual beli, di mana jual
beli telah terjadi namun keduanya masih dalam tempo khiyar majelis3. Keduanya
belum berpisah, maksudnya keduanya masih punya hak pembatalan, karena masih
dalam punya hak pembatalan, karena masih dalam satu majelis belum berpisah.
Kemudian orang itupun mengatakan kepada pembeli: ‘Batalkan saja jual belinya,
saya akan beri kamu barang yang sama dengan harga yang lebih murah’ atau ‘harga
sama namun barangnya lebih bagus’.
Atau mengatakan kepada penjual:
‘Batalkan saja penjualannya, nanti saya akan membelinya darimu dengan harga
yang lebih mahal.’
Dilarang pula menawar pada
penawaran saudaranya. Gambarannya sama dengan di atas akan tetapi belum terjadi
jual beli antara kedua belah pihak, namun keduanya sudah tawar menawar dan sudah
sama-sama cocok. Lalu datanglah pihak ketiga dan mengatakan semacam ucapan di
atas.
Hal ini dilarang oleh Nabi n,
karena di samping merugikan, juga akan menyebabkan pertikaian. Disebutkan dalam
hadits dari Abdullah bin Umar c, Rasulullah n bersabda:
لَا يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى
بَيْعِ أَخِيهِ
“Janganlah seseorang dari kalian
menjual/membeli atas penjualan/pembelian saudaranya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Dari Abu Hurairah z bahwa
Rasulullah n bersabda:
لَا يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى
سَوْمِ أَخِيهِ
“Janganlah seorang muslim menawar
pada penawaran saudaranya.” (Shahih, HR. Muslim). Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Hadits ini diriwayatkan pula
oleh Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad.2 Hashat berarti kerikil. Di antara contoh
jual beli hashat adalah pembeli melemparkan sebuah kerikil ke sekumpulan baju.
Maka baju manapun yang terkena, itulah yang dibeli dengan harga yang telah
disepakati.
3 Adapun setelah khiyar majelis
maka terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Alhamdulillah, semoga bisa istiqomah dan bermanfaat,
Diharapkan setelah berkunjung untuk memberikan komentar
baik berupa saran maupun kritik yang membangun.