BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK METODE SRI (System of Rice Intensification)
- Inovasi Metode SRI
SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%.Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM
Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International
Institution for Food, Agriculture and Development(CIIFAD), mulai bekerja sama
dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park
di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI
telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka,
dan Bangladesh
dengan hasil yang positif. SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari
Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentase
SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar
Madagaskar Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa
tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI
memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15
ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan
panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Hanya saja
diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk
bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup
sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi.
Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan
kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.
2 . Prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI
1. Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih berdaun 2 helai
2. Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih jarang
3. Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal
4. Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah
3. Keunggulan metode SRI
1. Tanaman hemat air, Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak ( Irigasi terputus)
2. Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam kurang dll.
3. Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal
4. Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha
5. Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan Mikro-oragisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.
4. Teknik Budidaya Padi Organik metode SRI
4.1. Persiapan benih Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka telur akan terapung. Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat ukuran 20 x 20 cm (pipiti). Selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari benih padi sudah siap ditanam
4.2. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah Untuk Tanam padi metode SRI tidak berbeda dengan cara pengolahan
tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhidar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
4.3. Perlakuan pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan penambahan
unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
4.4. Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus, cukup
dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya untuk mempermudah
pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi organik dapat dilakukan sebagai berikut; pada umur 1-10 HST tanaman padi digenangi dengan ketinggian air ratarata 1cm, kemudian pada umur 10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi. Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan tanaman digenang. Pada saat tanaman berbunga, tanaman digenang dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan mekanik
5. Pertanian Padi Organik Metode SRI dan Konvesional .
Sistem tanam padi SRI, pada prakteknya memiliki banyak perbedaan dengan sistem tanam
Konvensional (Tabel 3)
Tabel 3. Perbedaan sisten tanam padi Organik SRI dengan sistem Konvensional
NO
|
Komponen
|
Metode
Komvensional
|
Metode
SRI
|
1
|
kebutuhan benih
|
30-40 kg/ha
|
5-7 Kg/ha
|
2
|
pengujian benih
|
tidak dilakukan
|
dilakukan pengujian
|
3
|
umur di persemaian
|
20-30 HSS
|
7-10 HSS
|
4
|
Pengolahan tanah
|
2-3 kali (Struktur lumpur)
|
3 kali (struktur lumpur dan rata)
|
5
|
jumlah tanaman perlubang
|
rata-rata 5 pohon
|
1 pohon/lubang
|
6
|
posisi akar waktu tanam
|
tidak teratur
|
posisi akar horozontal (L)
|
7
|
pengairan
|
terus digenangi
|
disesuaikan dengan kebutuhan
|
8
|
pemupukan
|
mengutamakan pupuk kimia
|
hanya dengan pupuk organik
|
9
|
penyiangan
|
diarahkan kepada pemberantasan gulma
|
diarahkan kepada pengelolaan perakaran
|
10
|
rendemen
|
50-60%
|
60-70%
|
Keterangan:
HSS = Hari setelah semai
6. Perbedaan Hasil Cara SRI dengan Konvensional
Kebutuhan pupuk organik dan pestisida untuk padi organik metode SRI dapat diperoleh dengan cara mencari dan membuatnya sendiri. Pembuatan kompos sebagai pupuk dilakukan dengan memanfaatkan kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan menggunakan aktifator MOL (Mikro-organisme Lokal) buatan sendiri, begitu pula dengan pestisida dicari dari tumbuhan behasiat sebagai pengendali hama. Dengan demikian biaya yang keluarkan menjadi lebih efisien dan murah. Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik dari musim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untuk dapat meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanam tiba.
Pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan tanah untuk metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan tanah yang menggunakan pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah semakin kehilangan bahan organik dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan biaya akan semakin mahal.
Tabel.4. Analisa Usaha Tani Cara Konvensional dan metode SRI setelah musim ke 2 dalam 1 ha
6. Perbedaan Hasil Cara SRI dengan Konvensional
Kebutuhan pupuk organik dan pestisida untuk padi organik metode SRI dapat diperoleh dengan cara mencari dan membuatnya sendiri. Pembuatan kompos sebagai pupuk dilakukan dengan memanfaatkan kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan menggunakan aktifator MOL (Mikro-organisme Lokal) buatan sendiri, begitu pula dengan pestisida dicari dari tumbuhan behasiat sebagai pengendali hama. Dengan demikian biaya yang keluarkan menjadi lebih efisien dan murah. Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik dari musim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untuk dapat meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanam tiba.
Pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan tanah untuk metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan tanah yang menggunakan pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah semakin kehilangan bahan organik dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan biaya akan semakin mahal.
Tabel.4. Analisa Usaha Tani Cara Konvensional dan metode SRI setelah musim ke 2 dalam 1 ha
NO
|
Uraian
|
Biasa
|
SRI
|
A
|
Komponen Input/ha
|
||
Benih (Rp. 5000/kg)
|
250,000
|
25,000
|
|
Pupuk
|
|||
1. organik (jerami +3 ton kompos)
|
-
|
1.200.000
|
|
2. an-organik Urea, SP36, KCl.(2:1:1)
|
750,000
|
-
|
|
Pengolahan Tanah
|
1,000,000
|
1,000,000
|
|
Pembuatan persemaian
|
105,000
|
30,000
|
|
Pencabutan benih (babut)
|
100,000
|
-
|
|
Penanaman
|
350,000
|
350,000
|
|
Penyulaman
|
20,000
|
50,000
|
|
Penyiangan
|
750,000
|
1,050,000
|
|
Pengendalian OPT dengan
|
|||
1. Pestisida kimia
|
500,000
|
-
|
|
2. Biopestisida
|
-
|
150,000
|
|
panen
|
1.000.000
|
2.000.000
|
|
Jumlah
|
4,825,000
|
5,855,000
|
|
B
|
Komponen output
|
||
Produksi padi
|
5 Ton
|
10 Ton
|
|
Harga padi Rp 2.000/kg (diprediksi harga
sama)
|
10,000,000
|
20,000,000
|
|
C
|
Keuntungan
|
5,175,000
|
14,145,000
|
Hasil panen pada metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya(metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya sejalan dengan meningkatnya bahan organik dan kesehatan tanah. Beras organik yang dihasilkan dari sistem tanam di musim pertama memiliki harga yang sama dengan beras dari sistem tanam konvesional, harga ini didasarkan atas dugaan bahwa beras tersebut belum tergolong organik, karena pada lahan tersebut masih ada pupuk kimia yang tersisa dari musim tanam sebelumnya. Dan untuk musim berikutnya dengan menggunakan metode SRI secara berturut-turut, maka sampai musim ke 3 akan diperoleh beras organik dan akan memiki harga yang lebih tinggi dari beras padi dari sistem konvensional.
7. Manfaat Sistem SRI
Secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut
1. Hemat air (tidak digenang), Kebutuhan air hanya 20-30% dari kebutuhan air untuk cara konvensional
2. memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah
3. Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka
4. membuka lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan keluarga petani
5. menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu kimia
6. mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang
8. KESIMPULAN
Metode SRI menguntungkan untuk petani, karena produksi meningkat sampai 10 ton/ha, selain itu karena tidak mempergunakan pupuk dan pestisida kimia, tanah menjadi gembur, mikroorganisme tanah meningkat jadi ramah lingkungan. Untuk mempercepat penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah.
oleh : JENAL MUTAKIN
Dosen tetap Yayasan Universitas Garut
Sistem Intensifikasi Padi (The system of Rice
intensificasion – SRI) : Sedikit dapat Memberi Lebih Banyak
Oleh : Dawn Berkelaar
Baru-baru ini kami telah mempelajari suatu metode penanaman padi yang mampu
memberikan hasil panen yang jauh lebih tinggi dengan pemakaian bibit dan input
yang lebih sedikit dari pada metode tradisional (misalnya air) atau metode yang
lebih modern (pemakaian pupuk dan asupan kimiawi lain). Metode ini
mengembangkan teknik manajemen yang berbeda atas tanaman, tanah, air dan nutrisi.
Sistem intensifikasi padi ini telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah
negara (meski yang terutama di Madagaskar).
Apakah
SRI itu?
SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi
pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan
dengan teknik budidaya cara tradisional. SRI dikembangkan di Madagaskar
awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang lebih dari 30
tahun hidup bersama petani-petani di sana.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk
memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for
Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy
Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di
Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI
telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan
Bangladesh
dengan hasil yang positif.
Hasil metode SRI sangat memuaskan (lihat Tabel 1). Di Madagaskar,
pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang
menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani
memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Sedangkan,
di daerah lain selama 5 tahun, ratusan petani memanen 8-9 ton/ha. Metode
SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode varietas padi
lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus menggunakan input luar untuk
memperoleh manfaat SRI. Metode ini juga bisa diterapkan untuk berbagai
varietas yang biasa dipakai petani. Hanya saja, diperlukan pikiran yang terbuka
untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI, tanaman
diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan
seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman
padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan
mereka.
Tabel 1. Perbandingan
Pertumbuhan Padi antara Metode Tradisional dengan Metode SRI.
Metode Tradisional |
Metode SRI
|
|||||
Rata-rata
|
Kisaran
|
Rata-rata
|
Kisaran
|
|||
Rumpun/m2
|
56
|
42-65
|
16
|
10-25
|
||
Tanaman/rumpun
|
3
|
2-5
|
1
|
1
|
||
Batang/rumpun
|
8,6
|
8-9
|
55
|
44-74
|
||
Malai/rumpun
|
7,8
|
7-8
|
32
|
23-49
|
||
Bulir/malai
|
114
|
101-130
|
181
|
166-212
|
||
Bulir/rumpun
|
824
|
707-992
|
5,858
|
3,956-10,388
|
||
Hasil panen (t/ha)
|
2,0
|
1,0-3,0
|
7,6
|
6,5-8,8
|
||
Kekuataan akar (kg)
|
28
|
25-32
|
53
|
43-69
|
||
Keterangan :
Data
dalam metode tradisional dihitung dari 5 pecahan lahan di areal yang
berdekatan. Data dalam metode SRI merupakan rata-rata dan kisaran dari 22 plot
uji coba (Data diambil dari thesis S2 Joelibarison, 1998).
Mulanya, praktek penerapan SRI tampak “melawan arus”. SRI menentang
asumsi dan praktek yang selama ratusan bahkan ribuan tahun telah
dilakukan. Kebanyakan petani padi menanam bibit yang telah matang (umur
20-30 hari), dalam bentuk rumpun, secara serentak, dengan penggenangan air di
sawah seoptimal mungkin di sepanjang musim. Mengapa? Praktek ini seolah-olah
mengurangi resiko kegagalan bibit mati. Masuk akal bahwa tanaman yang
lebih matang seharusnya mampu bertahan lebih baik; penanaman dalam bentuk
rumpun akan menjamin beberapa tanaman tetap hidup saat pindah tanam
(transplanting); dan penanaman dalam air yang menggenang menjamin kecukupan air
dan gulma sulit tumbuh.
Terlepas dari alasan di atas, para petani yang menerapkan metode SRI belum
menemukan resiko yang lebih besar daripada metode tradisional. Empat penemuan
kunci penerapan SRI adalah:
1. Bibit dipindah lapang
(transplantasi) lebih awal
Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda,
biasanya saat berumur 8-15 hari (Lihat Gambar 1). Benih harus disemai
dalam petakan khusus dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang
air. Saat transplantasi dari petak semaian, perlu kehati-hatian dan
sebaiknya dengan memakai cethok, serta dijaga tetap lembab. Jangan bibit
dibiarkan mengering. Sekam (sisa benih yang telah berkecambah) biarkan
tetap menempel dengan akar tunas, karena memberikan energi yang penting bagi
bibit muda. Bibit harus ditranplantasikan secepat mungkin setelah dipindahkan
dari persemaian ---sekitar ½ jam, bahkan lebih baik 15 menit. Saat
menanam bibit di lapangan, benamkan benih dalam posisi horisontal agar
ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas (ini terjadi bila bibit ditanam
vertikal ke dalam tanah). Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke
bawah. Tranplantasi saat bibit masih muda secara hati-hati dapat
mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi
batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif. Bulir padi dapat
muncul pada malai (misalnya “kuping” bulir terbentuk di atas cabang, yang
dihasilkan oleh batang yang subur). Lebih banyak batang yang muncul dalam
satu rumpun, dan dengan metode SRI, lebih banyak bulir padi yang dihasilkan
oleh malai.
2. Bibit ditanam satu-satu daripada
secara berumpun
Bibit ditranplantasi satu-satu daripada secara berumpun, yang
terdiri dari dua atau tiga tanaman. Ini dimaksudkan agar tanaman memiliki ruang
untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Sehingga tanaman tidak bersaing
terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam
tanah. Sistem perakaran menjadi sangat berbeda saat tanaman ditanam
satu-satu, dan ketika uraian berikut diikuti :
3. Jarak tanam yang lebar
Dibandingkan dengan baris yang sempit, bibit lebih baik ditanam dalam
pola luasan yang cukup lebar dari segala arah. Biasanya jarak minimalnya
adalah 25 cm x 25 cm
Sebaiknya petani berani mencoba berbagai jarak tanam dalam berbagai
variasi, karena jarak tanam yang optimum (yang mampu menghasilkan rumpun subur
tertinggi per m2) tergantung kepada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban dan
kondisi tanah yang lain. Pada prinsipnya tanaman harus mendapat ruang cukup
untuk tumbuh. Mungkin anda pernah juga menggunakan metode lain selain SRI,
namun jarang yang jarak tanam terbaiknya dibawah 20 cm x 20 cm. Hasil panen
maksimum diperoleh pada sawah subur dengan jarak tanam 50 x 50 cm, sehingga
hanya 4 tanaman per m2.
Untuk membuat jarak tanam yang tepat (untuk memudahkan pendangiran),
petani dapat meletakkan tongkat-tongkat dipinggir sawah, lalu diantaranya
diikatkan tali melintas sawah. Tali harus diberi tanda interval yang sama,
sehingga dapat menanam dalam pola segi empat. Dengan jarak tanam yang lebar
ini, memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman
juga akan menyerap lebih banyak sinar matahari, udara dan nutrisi. Hasilnya
akar dan batang akan tumbuh lebih baik (juga penyerapan nutrisi). Pola segi
empat juga memberi kemudahan untuk pendangiran (lihat no. 6 di bawah).
Jika petani sudah lebih berpengalaman, mereka dapat menghemat waktu
dengan hanya menandai titik persilangan tali di petak sawah dengan lidi atau
alat lain. Dalam metode SRI kebutuhan benih jauh lebih sedikit dibandingkan
metode tradisional, salah satu evaluasi SRI menunjukkan bahwa kebutuhan benih
hanya 7 kg/ha, dibanding dengan metode tradisional yang mencapai 107
kg/ha. Belum lagi hasil panen yang diperoleh berlipat ganda karena setiap
tanaman memproduksi lebih banyak padi.
4. Kondisi tanah tetap lembab tapi
tidak tergenang air
Secara tradisional penanaman padi biasanya selalu digenangi air.
Memang benar, bahwa padi mampu bertahan dalam air yang tergenang. Namun,
sebenarnya air yang menggenang membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan
oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Akar padi akan
mengalami penurunan bila sawah digenangi air, hingga mencapai ¾ total akar saat
tanaman mencapai masa berbunga. Saat itu akar mengalami die back
(akar hidup tapi bagian atas mati). Keadaan ini disebut juga “senescence”, yang
merupakan proses alami, tapi menunjukkan tanaman sulit bernafas, sehingga
menghambat fungsi dan pertumbuhan tanaman.
Dengan SRI, petani hanya memakai kurang dari ½ kebutuhan air pada sistem
tradisional yang biasa menggenangi tanaman padi. Tanah cukup dijaga tetap
lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi
pertumbuhan akar. Sesekali (mungkin seminggu sekali) tanah harus
dikeringkan sampai retak. Ini dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu
masuk kedalam tanah dan mendorong akar untuk “mencari” air. Sebaliknya,
jika sawah terus digenangi, akar akan sulit tumbuh dan menyebar, serta
kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh dengan subur.
Kondisi tidak tergenang, yang dikombinasi dengan pendangiran mekanis,
akan menghasilkan lebih banyak udara masuk kedalam tanah dan akar berkembang
lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak. Pada sawah yang
tergenang air, di akar padi akan terbentuk kantung udara (aerenchyma)
yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen. Namun, karena kantung udara ini
mengambil 30-40% korteks akar, maka dapat berpotensi menghentikan
penyaluran nutrisi dari akar keseluruh bagian tanaman. Penggenangan dapat
dilakukan sebelum pendangiran untuk mempermudah pendangiran (lihat no.
5). Selain itu, penggenangan air paling baik dilakukan pada sore hari
(bila pada hari itu tidak hujan), sehingga air yang berada di permukaan mulai
mengering keesokan harinya. Perlakuan ini membuat sawah mampu untuk
menyerap udara dan tetap hangat sepanjang hari; sebaliknya sawah yang digenangi
air justru akan memantulkan kembali radiasi matahari yang berguna, dan hanya
menyerap sedikit panas yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Dengan
SRI, kondisi tak tergenangi hanya dipertahankan selama pertumbuhan
vegetatif. Selanjutnya, setelah pembungaan, sawah digenangi air 1-3 cm
seperti yang diterapkan di praktek tradisional. Petak sawah diairi secara
tuntas mulai 25 hari sebelum panen.
Sebagai tambahan untuk 4 prinsip ini, 2 praktek lain sangat penting
dalam metode SRI. Keduanya tidak berlawanan dan telah lama dikenal oleh petani
dalam bercocok tanam.
5. Pendangiran
Pendangiran (membersihkan gulma dan rumput) dapat dilakukan dengan
tangan atau alat sederhana (lihat gbr 3). Para
petani di Madagaskar beruntung setelah menggunakan alat pendangiran yang
dikembangkan International Rice Research Institute sejak tahun 1960-an, yang
mampu mengurangi tenaga kerja dan meningkatkan hasil panen. Alat ini
mempunyai roda putar bergerigi yang berfungsi untuk mengaduk tanah saat ditekan
ke bawah dan tidak merusak tanaman karena ada jarak diantara roda.
Pendangiran ini membutuhkan banyak tenaga ---bisa mencapai 25 hari kerja untuk
1 ha--- tapi hal ini tidak sia-sia karena hasil panen yang diperoleh sangat
tinggi.
Pendangiran pertama dilakukan 10 atau 12 hari setelah tranplantasi, dan
pendangiran kedua setelah 14 hari. Minimal disarankan 2-3 kali pendangiran,
namun jika ditambah sekali atau dua kali lagi akan mampu meningkatkan hasil
hingga satu atau dua ton per ha. Yang lebih penting dari praktek ini bukan
sekedar untuk membersihkan gulma, tetapi pengadukan tanah ini dapat memperbaiki
struktur dan meningkatkan aerasi tanah.
6. Asupan Organik
Awalnya SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk
meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi
saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disaarankan untuk
menggunakan kompos, dan ternyata hasilnya lebih bagus. Kompos dapat
dibuat dari macam-macam sisa tanaman (seperti jerami, serasah tanaman, dan
bahan dari tanaman lainnya), dengan tambahan pupuk kandang bila ada. Daun
pisang bisa menambah unsur potasium, daun-daun taaman kacang-kacangan dapat
menambah unsur N, dan tanaman lain seperti Tithonia dan Afromomum
angustifolium, memberikan tamabahan unsur P. Kompos menambah nutrisi
tanah secara perlahan-lahan dan dapat memperbaiki struktur tanah. Di
tanah yang miskin jika tidak di pupuk kimia, secara otomatis perlu diberikan
masukan nutrisi lain. Pedomannya: dengan hasil panen yang tinggi, sesuatu perlu
dikembalikan untuk menyuburkan tanah!
Mengapa
SRI berhasil ?
SRI berhasil karena menerapkan konsep sinergi.
Dalam konteks ini, sinergi menunjukkan bahwa semua praktek dalam SRI
berinteraksi secara positif, saling menunjang, sehingga hasil keseluruhan lebih
banyak daripada jumlah masing-masing bagian. Setiap bagian dari SRI bila
dilakukan akan memberikan hasil yang positif, tapi SRI hanya akan berhasil
kalau semua praktek dilaksanakan secara bersamaan.
Ketika dipakai bersamaan, praktek SRI memberi
dampak pada struktur tanaman padi yang berbeda dibandingkan praktek
tradisional. Dalam metode SRI, tanaman padi memiliki lebih banyak batang,
perkembangan akar lebih besar, dan lebih banyak bulir pada malai. Untuk
menghasilkan batang yang kokoh, diperlukan akar yang dapat berkembang bebas
untuk mendukung pertumbuhan batang di atas tanah. Untuk ini akar
membutuhkan kondisi tanah, air, nutrisi, temperatur dan ruang tumbuh yang
optimal. Akar juga memerlukan energi hasil fotosintesis yang terjadi di batang
dan daun yang ada di atas tanah. Sehingga akar dan batang saling tergantung.
Saat kondisi pertumbuhan optimum, ada hubungan positif antara jumlah batang per
tanaman, jumlah batang yang menghasilkan (malai), dan jumlah bulir gabah per
batang.
Tanaman padi dalam model SRI akan tampak kecil, kurus dan jarang di
sawah selama sebulan atau lebih setelah transplantasi. Dalam bulan
pertama, tanaman mulai menumbuhkan batang. Selama bulan ke-2 pertumbuhan batang
mulai terlihat nyata. Dalam bulan ke-3, petak sawah tampak “meledak” dengan
pertumbuhan batang yang sangat cepat. Untuk memahami hal ini, perlu dimengerti
konsep phyllochrons, sebuah konsep yang diaplikasikan pada
keluarga rumput-rumputan, termasuk tanaman biji-bijian seperti padi, gandum,
dan barley.
Phyllochron
bukan suatu benda, tetapi periode waktu antara munculnya satu phytomer
(satu set batang, daun, dan akar yang muncul dari dasar tanaman) dan perkecambahan
selanjutnya (lihat Tabel 2). Ukuran phyllochrons ditentukan
terutama oleh temperatur, tapi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti
panjang hari, kelembaban, kualitas tanah, kontak dengan air dan cahaya serta
ketersediaan nutrisi.
Tabel 2. Pertambahan Jumlah Batang yang Dihasilkan Tanaman Padi dalam Ukuran Phyllochrons
Phyllochrons |
||||||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX |
X
|
XI
|
XII
|
|
Batang baru |
1
|
0
|
0
|
1
|
1
|
2
|
3
|
5
|
8
|
12
|
20
|
31
|
Total batang
|
1
|
1
|
1
|
2
|
3
|
5
|
8
|
13
|
21
|
33
|
53
|
84
|
Keterangan :
Batang
pertama dan berikutnya menghasilkan batang baru yang menghasilkan batang baru
lagi). Pada akhir seri, pertumbuhan tanaman meningkat secara eksponensial
(berlipat) dan tidak satu-satu.. (Sumber : De Laulanie, 1993)
Bila kondisinya sesuai, phillochrons
dalam padi lamanya lima
sampai tujuh hari, meski dapat lebih singkat pada temperatur lebih tinggi. Di
bawah kondisi yang bagus, fase vegetatif tanaman padi dapat berlangsung selama
12 phyllochrons sebelum tanaman mulai menumbuhkan malai dan masuk ke fase
pembungaan (lihat Tabel 2). Ini mungkin dilakukan ketika pertumbuhan
dipercepat, sehingga banyak phillochrons sudah tercapai sebelum inisiasi
malai.
Sebaliknya, dalam kondisi miskin, phyllochrons
berlangsung lebih lama, dan hanya sedikit yang mampu mencapai fase
pembungaan. Yang perlu diingat : hanya beberapa batang yang tumbuh dalam
fase awal phyllochrons (dan tidak ada sama sekali selama phillochrons
kedua dan ketiga), namun setelah fase phillochrons ketiga setiap
batang akan menghasilkan batang baru dari pangkalnya (dengan tenggang waktu
satu phyllochrons sebelum proses malai) (lihat table 2). Dalam periode
vegetatif berikutnya, dalam kondisi yang ideal, pertambahan batang tanaman
menjadi berlipat (eksponensial) dan bukan aditif (sesuai dengan hukum Fibonacci
dalam ilmu Biologi). Dalam praktek budidaya lama, periode produksi batang
maksimum tercapai sebelum inisiasi malai, tapi dengan SRI keduanya bisa dicapai
bersamaan.
Inilah mengapa, saat paling baik untuk
transplantasi bibit adalah selama phyllochrons ke-2 atau ke-3, sehingga tidak
ketinggalan fase berlipat (eksponensial) yang mulai pada phyllochrons
ke-4. Akar bibit mengalami trauma saat terkena sinar matahari dan
mengering, saat ditanam di tempat yang tidak ada kontak dengan udara; dan saat
bulu akar keluar dari akar pertama, akan hilang atau rusak jika terlambat
ditranspalantasi. Trauma ini memperlambat pertumbuhan berikutnya,
sehingga banyak phyllochrons yang tidak tercapai sebelum inisiasi
malai. Banyak metode transplantasi (dan waktu) menyebabkan tanaman
terhambat tumbuh selama satu atau dua minggu yang juga menghambat pertumbuhan
selanjutnya. Untuk pertumbuhan batang maksimum, tanaman perlu menyelesaikan
sebanyak mungkin phyllochrons selama fase vegetatif. Bila bibit
ditranplantasi pada umur 3 atau 4 minggu, phyllochrons terpenting saat
batang tumbuh tidak akan pernah tercapai.
Bertentangan dengan kebiasaan umum yang
menganggap bahwa banyak batang akan mengurangi jumlah malai dan pembentukan
bulir, dengan SRI, terbukti tidak ada hubungan negatif antara jumlah batang
yang diproduksi dan jumlah bulir diproduksi oleh batang subur. Semua komponen
hasil panen, tumbuhnya batang, pembentukan malai dan pengisian bulir dapat
bertambah di bawah kondisi yang mendukung.
Semua
tampak Ideal untuk direalisasikan. Apakah keterbatasannya?
SRI membutuhkan lebih banyak tenaga kerja per
ha daripada metode tradisional. Bila petani tidak terbiasa
mentransplantasi bibit kecil (umur 2 minggu) dalam jarak ruang dan kedalaman
tertentu, proses ini bisa membutuhkan waktu dua kali lebih lama. Tapi
jika para petani sudah merasa nyaman dan menguasai tekniknya, transplantasi
membutuhkan waktu lebih singkat karena jumlah bibit yang ditanam jauh lebih
sedikit.
Dengan SRI, diperlukan lebih banyak waktu juga
untuk mengatur pengairan sawah dibandingkan cara lama. Ini berarti sistem
irigasi perlu diatur secara tepat agar memungkinkan air masuk dan keluar dari
sawah secara teratur. Kebanyakan irigasi tidak diatur seperti ini
(kebanyakan irigasi hanya dibuat untuk menyimpan banyak air), sehingga perlu
dilakukan perbaikan pada petak dan pengairan lebih dulu sebelum memulai metode
SRI.
Pendangiran juga membutuhkan waktu lebih banyak
bila sawah tidak digenangi air terus. Tapi, hasil panen bisa naik
beberapa kali lipat jika aerasi tanah diatur baik dengan alat pendangiran putar
bergerigi. Akhirnya, hasil panen yang lebih mampu menutupi pengeluaran
tambahan untuk tenaga pendangiran.
Awalnya, SRI membutuhkan 50-100% tenaga kerja
(yang terampildan teliti) lebih banyak, tapi lama kelamaan jumlah ini dapat menurun.
Petani SRI yang sudah berpengalaman membutuhkan tenaga kerja lebih sedikit saat
teknik SRI telah dikuasai dan mereka semakin percaya diri. Dengan hasil
panen dua, tiga bahkan empat kali lipat dibanding metode lama, mampu menutupi
ongkos buruh dan lahan yang meningkat.
Beberapa petani masih meragukan manfaat
SRI. SRI tampak seperti mukjijat di awal, tetapi ada alasan ilmiah untuk
menjelaskan setiap bagian prosesnya. Para
petani ini perlu dimotivasi untuk mencobanya di area kecil dahulu, untuk memuaskan
rasa ingin tahu mereka mengenai manfaat dan untuk memperoleh ketrampilan di
skala kecil.
Penanaman dan pendangiran merupakan pekerjaan
yang butuh tenaga kerja paling intensif dalam SRI. Banyak petani
kesulitan memperoleh tenaga kerja yang cukup untuk ini, baik dari anggota
keluarga sendiri maupun yang disewa. Jika petani mengalami kendala ini
sebaiknya mereka tidak menanam dan mengelola seluruh lahannya dengan pola SRI,
tetapi cukup mencoba di sebagian lahannya saja, sehingga tidak harus keluar
biaya untuk buruh dan sewa lahan. Lalu, sisa lahan ditanamai tanaman lain
jika telah tersedia tenaga kerja.
Apakah
SRI Berkelanjutan ? Bagaimana Petani dapat Memperoleh Hasil yang Tinggi?
Para ilmuwan masih belum yakin, bahkan
banyak yang skeptis, bagaimana mungkin hasil tinggi dapat diperoleh pada tanah
miskin seperti Madagaskar. Untungnya SRI telah terbukti juga sukses diterapkan di Cina, India,
Indonesia,
Filipina, Sri Langka dan Bangladesh.
Jadi jelas bahwa SRI tidak hanya cocok untuk satu neegara.
Memang belum ada evaluasi sistematis oleh
ilmuwan mengenai SRI ini. Tetapi telah ada sedikit penjelasan ilmiah terkait
penerapan SRI sebagai berikut :
1. Proses Fiksasi Biologis Nitrogen
(Biological Nitrogen Fixation - BNF). Bakteri dan mikroba yang bebas hidup di
sekitar akar padi dapat menguraikan nitrogen yang diperlukan untuk
tanaman. Kehadiran bakteri seperti ini telah tercatat untuk tanaman tebu,
yang termasuk famili rumput-rumputan, seperti padi. Ketika tanaman tebu
tidak diberi pupuk nitrogen (karena pupuk ini dapat memacu produksi enzim
nitrogenase yang diperlukan untuk proses fiksasi nitrogen), mikroba tanah mampu
menyediakan 150-200 kg nitrogen per ha untuk tebu. Namun, proses
penguraian nitrogen justru berkurang pada lahan yang diberikan pupuk
kimia. Diketahui bahwa 80 % bakteri di dalam dan sekitar akar padi
memiliki kemampuan menyediakan nitrogen, tetapi potensi ini tidak akan menjadi
nyata bila penggunaan pupuk nitrogen kimia diteruskan atau dalam kondisi tanah
an-aerobik dan tergenang.
2. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa
tanaman dapat tumbuh baik dalam konsentrasi hara rendah, selama hara tersebut
tersedia berimbang dan konsisten. Kita tahu bahwa kompos menyediakan hara
sedikit demi sedikit tapi konstan.
3. Tanaman dengan akar yang bebas
menyebar dapat menyerap hara apapun di dalam tanah. Pertumbuhan akar yang bebas
hanya mungkin terjadi pada akar bibit muda yang punya banyak ruang dan oksigen,
bahkan saat air dan nutrisi hanya sedikit tersedia akar dapat mencarinya sendiri.
Akar yang demikian dapat mengekstrak unsur hara yang lebih seimbang dari tanah,
termasuk nutrisi dari unsur mikro yang diperlukan sedikit tapi penting.
Banyak hal yang perlu dipelajari dari SRI, dan
para ilmuwan mulai tertarik karena hasil panennya yang berlipat. SRI
jangan dilihat sebagai teknologi yang diterapkan secara mekanis, tapi sebagai
metodologi untuk diuji dan diadaptasi sesuai dengan kondisi para petani. Para petani perlu menjadi peneliti dan belajar dengan
benar untuk memperoleh hasil terbaik dari SRI.
Singkatnya, unsur SRI yang penting adalah
sebagai berikut:
1. Tranplantasi bibit muda untuk
mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang optimal
sebagaimana dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dengan baik.
2. Menanam padi dalam jarak tanam yang
cukup lebar, sehingga mengurangi kompetisi tanaman dalam serumpun maupun antar
rumpun.
3. Mempertahankan tanah agar tetap
teraerasi dan lembab, tidak tergenang, sehingga akar dapat bernafas, untuk ini,
perlu manajemen air dan pendangiran yang mampu membongkar struktur tanah.
4. Menyediakan nutrisi yang cukup untuk
tanah dan tanaman, sehingga tanah tetap sehat dan subur sehingga dapat
menyediakan hara yang cukup dan lingkungan ideal yang diperlukan tanaman untk
tumbuh.